Trending Topik #SaveRajaAmpat Sorot Global: Lestarikan Permata Papua, Kekayaan Alam Dunia dari Kerusakan Tambang
PR KUNINGAN —
Kepulauan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang terkenal dengan sebutan “Surga Terakhir di Bumi” berkat pesonanya yang memukau serta biodiversitas tinggi, saat ini sedang menghadapi tantangan besar akibat potensi penambangan nikel.
Masalah ini menjadi “topik terkini” di platform-media sosial menggunakan hastag #SaveRajaAmpat, mengundang ketakutan bersama serta pemanggilan untuk tindakan pengawasan yang lebih baik.
Raja Ampat: Jiwa Keberagaman Hayati yang Terancam
Raja Ampat tidak hanya menjadi tujuan pariwisata idaman, tetapi juga merupakan konsentrasi penting dari biodiversitas baik di lautan maupun daratan.
UNESCO mengakui daerah ini sebagai taman bumi global, tempat tinggal sekitar 75% spesies terumbu karang di planet ini, lebih dari 2.500 jenis ikan, 47 spesies mamalia, serta mencakup 274 ragam burung.
Untuk masyarakat asli Papua, Raja Ampat merupakan wilayah hidup, penyedia nafkah utama, serta lokasi peninggalan nenek moyang mereka.
Ironi Di Belakang “Energai Terbarukan”: Penambangan Nikel Mempengaruhi Kehidupan
Pada saat nikel dipromosikan sebaik-baiknya sebagai jawaban untuk sumber tenaga yang ramah lingkungan, efeknya malah menyebabkan kerusakan lingkungan secara signifikan.
aktivis dari Greenpeace Indonesia mengibarkan banner berbunyi “Penambangan Nikel Merusak Hidup” pada acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia tahun 2025 yang diselenggarakan di Jakarta, menyuarakan kenyataan sulit yang terjadi di tempat kerja.
Kegiatan pertambangan nikel sudah diamati di beberapa pulau kecil termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, serta Pulau Manuran, padahal UU No. 1 Tahun 2014 secara tegas menghentikan aktivitas tersebut pada pulau-pulau berukuran kecil.
Lebih dari 500 hektar hutan serta tanaman liar sudah ditebang, sehingga membuat lumpur hasil galian mencemarkan lautan, menimbulkan penumpukan endapan, dan membahayakan keberadaan terumbu karang yang sensitif.
Bahkan, Pulau Batang Pele dan Manyaifun, yang berada sekitar 30 kilometer dari simbol Raja Ampat, yaitu Piaynemo, saat ini menghadapi ancaman penambangan.
“Nikel diproyeksikan menjadi jawaban untuk energi yang ramah lingkungan, namun dengan mengejutkan justru menghasilkan kerusakan di banyak daerah. Sekarang giliran ekosistem Raja Ampat terganggu, tanah dikoyak dan lautan rusak,” ungkap Iqbal Damanik, Aktivis Program Hutan dari Greenpeace Indonesia.
Pemuda Papua dan Greenpeace Bertanya: “Apa Sebenarnya Biaya Nyata Nikelmu?”
Keempat remaja asal Papua bersama Greenpeace Indonesia melakukan protes tenang dalam acara konferensi mineral kritis Indonesia 2025, memperlihatkan poster berisi pesan yang kuat:
Apa Sebenarnya Biaya Nyata Nikelmu?”, “Tambang Nikel Merusak Kehidupan”, dan “Simpan Raja Ampat Surga Terakhir yang Tersisa
Mereka mengingatkan pemerintah serta perusahaan pertambangan agar memahami bahwa proses pengolahan nikel di tempat memiliki biaya tinggi, dengan beban terberat jatuh pada komunitas asli dan ekosistem sekitar.
Ronisel Mambrasar, aktivis dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, menyatakan, “Kehadiran tambang nikel di beberapa pulau seperti Manyaifun dan Pulau Batang Pele membahayakan Raja Ampat. Kegiatan ini mengancam kelangsungan hidup kami… merusak tatanan sosial yang awalnya damai dan menciptakan konflik.”
Tanggapan Pemerintah: Di antara janji dan kenyataan di lapangan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berencana untuk meninjau ulang izin penambangan nikel di wilayah Raja Ampat dan juga telah meminta pertemuan dengan para pengusaha tambang tersebut. Ia mengaku bahwa diperlukan strategi khusus dalam hal ini seiring dengan status otonomi khusus yang dimiliki Papua.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Papua Barat Daya menyatakan bahwa ada dua perusahaan yang sudah berjalan yakni PT GAG Nikel serta PT Kawei Sejahtera Mining. Bahkan, beberapa di antaranya telah memperoleh persetujuan sebelum Raja Ampat dimekarkan sebagai daerah otonom sendiri.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, juga menyampaikan keluhan tentang batas-batas wewenang pemerintah daerahnya. Dia menjelaskan, “Sembilan puluh tujuh persen dari wilayah Raja Ampat merupakan area konservasi, jadi saat ada masalah seperti polusi lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan, kita tidak memiliki banyak ruang untuk bertindak,” ungkapnya.
Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati, menjelaskan bahwa upaya penegakan hukum saat ini dipimpin oleh Deputi Gakkum KLH. Walaupun begitu, masyarakat meminta lebih daripada hanya investigasi; mereka mendesak langkah konkret untuk menghentikan kerusakan yang terjadi di Raja Ampat.
“Karena Deputi Gakkum telah mengambil alih hal tersebut, saya hanya dapat memberikan tanggapan sebatas ini,” ujar Sekretaris Utama (Sestama) KLH/BPLH Vivien saat ditemui dalam acara Sarasehan 45 Tahun Kalpataru di Kuta, Bali, pada hari Rabu, 4 Juni 2025.
Isu #SaveRajaAmpat yang sedang
trending topic
Ini mengingatkan tentang konflik utama antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi lingkungan, terutama di daerah dengan keunikan ekologi seperti Raja Ampat.
Post Comment